Era digital membawa kemudahan sekaligus paradoks. Di saat informasi makin mudah diakses, kehadiran ahli malah memudar, fenomena yang sering disebut "The Death of Experts." Kredibilitas yang seharusnya dimiliki pakar kian pudar, tergantikan oleh para influencer yang punya banyak pengikut namun minim kompetensi di bidang yang mereka promosikan.
Popularitas kini seakan lebih bernilai daripada keahlian. Apakah ini bentuk kemajuan atau malah kemunduran? Di Indonesia, misalnya, saat ini banyak kebijakan disampaikan bukan oleh pakar kesehatan, pendidikan, atau ekonomi, melainkan oleh influencer populer yang tidak memiliki latar belakang mendalam. Fenomena ini bukan hanya di Indonesia, tetapi menjadi sorotan serius bagi mereka yang peduli pada nasib kebijakan publik.
Dalam kampanye vaksinasi, misalnya, sosok influencer lebih diandalkan dibandingkan dengan dokter atau ahli virologi, karena kehadiran mereka dinilai lebih meyakinkan. Ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan masyarakat pada institusi resmi, seperti akademisi atau ilmuwan, yang akhirnya lebih memilih solusi instan dari selebritas media sosial.
Kondisi ini mengakibatkan kebijakan publik yang seolah-olah didorong oleh wajah-wajah populer yang lebih cocok berada di iklan ketimbang di ruang diskusi kebijakan. Selain itu, ada kalkulasi politik yang lebih fokus pada strategi komunikasi perseptif daripada substansi, di mana viralitas dianggap lebih penting daripada kebenaran.
Sebagai contoh, dalam dunia pendidikan, kebijakan mungkin lebih mudah diterima jika dipromosikan influencer ketimbang dijelaskan oleh pakar. Kondisi ini menyiratkan satire bahwa mungkin di masa depan, ujian sekolah akan lebih diatur oleh mereka yang lebih paham algoritma sosial media dibanding kurikulum pendidikan.
Mengabaikan para ahli dalam kebijakan membawa risiko signifikan. Kebijakan yang seharusnya berbasis penelitian jadi lebih rentan terhadap kesalahan. Dalam sektor kesehatan, pendidikan, hingga ekonomi, kebijakan yang tidak memperhatikan pendapat ahli dapat menjadi tidak efektif atau bahkan merugikan.
Saat kebijakan gagal, tentunya bukan influencer yang akan disalahkan. Mereka hanya penyampai pesan, bukan perancangnya. Pendekatan yang ideal adalah menggabungkan popularitas influencer untuk menyebarkan kebijakan sambil tetap mengutamakan kredibilitas pakar dalam merancang kebijakan tersebut.
Ke depan, kebijakan yang baik harus berbasis data dan keahlian. Indonesia yang maju adalah Indonesia yang menghargai ilmu pengetahuan dan mempertahankan pakar pada peran strategisnya. Sebab, tanpa para ahli, jangan heran jika suatu hari nanti kebijakan nasional kita hanya sekadar tren populer tanpa substansi.